Jumat, 31 Juli 2009
Rabu, 25 Februari 2009
DIALOG LINTAS ORMAS & INTELEKTUAL
CITA-CITA MUHAMMADIYAH & REFORMASI NASIONAL
Oleh : Masroer Ch. Jb.
Mahasiswa Doktor Sosiologi Agama UKSW Salatiga
Sebagai gerakan pembaharuan (tajdid) Islam yang paling bersemangat dan berpengaruh besar dalam fase sejarah moderen Indonesia di awal abad ke 20, Muhammadiyah yang kini memasuki usianya ke-96 lebih telah menyumbangkan jasa pengabdiannya yang luar biasa bagi masyarakat di Tanah Air. Jasa pengabdiannya yang luar biasa itu tidak hanya ditunjukkan dari geliat pemikiran keagamaannya yang berwatak reformis dalam angan-angannya membersihkan sekaligus membangun kembali ajaran dasar Islam agar sejalan dengan khittah dasarnya sebagaimana dituntut dalam kitab suci al-Qur’an dan al-Hadis, melainkan juga dalam mereformasi mutu kehidupan sosial sekaligus pendidikan masyarakat.
Kehadiran ratusan rumah sakit dan balai-balai kesehatan yang berfungsi untuk menolong kesengsaran fisik umat, dibarengi dengan tumbuhnya ribuan panti asuhan yang bertujuan untuk meringankan penderitaan sosial anak-anak yatim di daerah-daerah, serta ribuan lembaga pendidikan mulai dari tingkat usia dini sampai perguruan tinggi yang didirikannya secara moderen di kota-kota dan pelosok-pelosok desa di Tanah Air, menjadi bukti yang sangat meyakinkan bahwa darma bakti Muhammadiyah terhadap bangsa dan negara ini tidaklah kecil dan sedikit.
Dalam hal pembangunan rumah sakit dan balai kesehatan, misalnya Persyarikatan Muhammadiyah dengan kekuatan finansial dan sumber daya manusianya yang relatif melimpah telah berhasil menempatkan dirinya sebagai organisasi keagamaan di garda depan dalam menyehatkan kehidupan masyarakat. Bahkan kehadiran lembaga-lembaga kesehatan Muhammadiyah menjadi alternatif yang patut dibanggakan di tengah kompetisi ketat dengan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan oleh kalangan non-Muhammadiyah dan Pemerintah. Hanya saja sayangnya diantara lembaga-lembaga kesehatan itu dalam perkembangannya tampak mulai kehilangan misi dasarnya yang menolong dan bertindak demi dan atas nama kemanusiaan Islam.
Justru ditengarai masyarakat merasakan lembaga-lembaga kesehatan yang didirikan oleh Muhammadiyah itu semakin lama semakin tenggelam ke dalam formalisme kelembagaan yang birokratis, sehingga kehilangan misi dasarnya sebagai juru penolong umat, seperti dalam hal ketidak-cepatan memberikan pelayanan terhadap pasien kritis akibat terbentur kendala prosedural. Bahkan keberadaan lembaga-lembaga kesehatan itu kian hari kian terjebak ke dalam kapitalisasi dunia kesehatan. Akibatnya tidak sedikit diantara masyarakat Islam yang sebagian besar masih hidup di garis kemiskinan ini tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan yang dimiliki oleh Muhammadiyah.
Begitu pula dalam hal pelayanan lembaga pendidikan yang dikelolanya terlihat mulai berada di persimpangan jalan. Pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah kian lama biayanya kian tidak terjangkau oleh masyarakat bawah, lebih-lebih jika memasuki lembaga pendidikan tinggi yang dimilikinya, seperti di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ketegangan antara peningkatan mutu pendidikan yang menuntut biaya tinggi sebagai syarat mencapai profesionalisme dunia pendidikan yang unggul dengan visi teologis untuk mencerdaskan kehidupan umat menuju umat yang berkeadaban, terjebak pada ideologi kapitalisasi pendidikan. Tentu pola pengelolaan lembaga pendidikan seperti ini yang sudah tersebar di daerah-daerah dengan jumlah ribuan itu patut segera dibenahi, agar ia tidak terus menerus berada di persimpangan jalan dengan memperteguh kembali misi dasarnya semula.
Bahkan kalau perlu Muhammadiyah dapat menengok ke dunia lain bagaimana konsistensi misi, semangat ikhlas dan pengabdian tulus yang menjiwai sebagian besar para kiai dalam mengelola lembaga pendidikan pesantren di desa-desa, dapat dijadikan inspirasi bagi pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan moderen yang didirikannya. Sudah barang tentu hal ini tidak mudah untuk dilakukan mengingat ideologi kemoderenan yang ditanamkan Muhammadiyah di satu sisi seringkali berefek menjebak para elitnya berada dalam pusaran nila-nilai rasional-materialisme yang bersifat individual dan kapitalistik, sehingga mencabut nilai-nilai transendensi kearifan lokal (local wisdom) yang dimilikinya.
Sekalipun demikian banyak pihak yang mengakui hanya Muhamadiyah sebagai organisasi Islam non-Pemerintah (ornop) yang dapat dirasakan langsung manfaat kehadirannya dalam memodernisir kehidupan bangsa di Tanah Air, utamanya di bidang agama, pendidikan dan dunia sosial. Ini artinya kemoderenan yang dicanangkan oleh gerakan Muhamadiyah selama ini tidak sekadar klaim-klaim retorik yang dikampanyekan para pemimpinnya, melainkan “cita rasa” kemoderenannya itu sesungguhnya telah dirasakan langsung oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia.
Namun bagaimanapun semangat memperbaharui kehidupan umat dengan cita-cita kemoderenan sebagaimana yang diangankan oleh KH. Ahmad Dahlan di masa-masa awal lahirnya Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912 terbukti telah mengilhami di hampir semua generasi kepemimpinan Muhamadiyah di sepanjang sejarahnya. Dalam dokumen sejarah tercatat, ketika KH. Mas Mansur bersama KH. Wahab Khasbullah mendirikan forum Taswirul Afkar pada tahun 1914 sebagai “ajang perdebatan intelektual” yang disediakan bagi para pemuda Islam dalam mengembangkan pemikiran nasionalisme keagamaannya melalui diskusi-diskusi rutin yang digelar di Surabaya, membuktikan semangat pembaharuan KH. Ahmad Dahlan telah diwarisi oleh KH. Mas Mansur.
Begitu juga dengan peran-peran arif KH. AR. Fakhruddin yang berusaha menjembatani keserasian hubungan Islam dengan Pemerintah di saat umat Islam terpinggirkan dalam panggung politik nasional di zaman Orde Baru, menunjukkan pemimpin utama Muhammadiyah itu berhasil membangun dialog dalam kerangka mendamaikan Islam dan negara di tengah ketegangan yang ditimbulkannya. Dan juga langkah-langkah pembaharuan hukum Islam yang digagas oleh KH. Ahmad Azhar Basyir selaku Ketua Umum Muhammadiyah waktu itu dalam mengkontekstualisasikan ajaran Islam dengan pembudidayaan doktrin ijtihadnya ke publik yang lebih luas.
Demikian pula tidak kalah hebatnya dengan peran-peran politik yang berani dan bersemangat yang diperlihatkan oleh Prof. Dr. H. Amien Rais di tengah hegemoni politik rezim Orde Baru dalam mendorong lahirnya reformasi di Indonesia beberapa tahun lalu. Bahkan semangat pembaharuan itu juga mengilhami langkah-langkah Prof. Dr. Syafii Maarif selaku ketua Umum Muhammadiyah dalam membangun dialog Islam dengan kelima agama resmi di Indonesia. Prof. Dr. Syafii Maarif tidak hanya mampu membangun hubungan dialogis dan saling pengertian dengan tokoh-tokoh Islam lain, seperti KH. Hasyim Muzadi, tetapi juga berusaha membangun dasar-dasar teologi inklusifnya dengan kelompok-kelompok Katolik, Hindu, Buddha, dan Protestan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam pertemuannya yang digelar bersama para pemimpin agama di Tanah Air ketika menggalang gerakan anti korupsi.
Kini, Muhammadiyah tentu akan kian memantapkan dirinya dalam berdarma bakti kepada bangsa dan negara. Ini berarti berbagai persoalan pokok yang menyangkut kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara sudah pasti akan menjadi agenda pokok dan pergulatan intelektual para elit Muhammadiyah pasaca Pemilu 2009 ini. Lebih-lebih di masa refomasi saat ini yang prosesnya masih berada dalam fase transisisi ke konsolidasi demokrasi, Muhammadiyah dituntut oleh banyak pihak untuk memainkan kembali peran pembaharuannya dengan tetap konsisten menjaga semangat reformasi. Ini artinya reformasi yang masih berada di persimpangan jalan –tarik menarik antara transisi ke konsolidasi--, akan mendorong Muhammadiyah untuk menentukan langkah bagi upaya mewujudkan keberhasilan reformasi di Indonesia sehingga ia tidak terjatuh ke dalam lingkaran krisis yang tiada berujung. Terlebih lagi mengingat peran yang dimainkan oleh para pemimpin Muhammadiyah begitu besar dalam mendorong lahirnya era reformasi yang ditandai dari keberhasilan melengserkan Presiden Soeharto pada waktu itu. Dapat dikatakan secara jujur para pemimpin Muhammadiyah-lah yang sebenarnya menjadi pelopor dalam mengobarkan semangat reformasi di kalangan mahasiswa dan masyarakat saat itu.
Oleh karena itu, Muhammadiyah diharapkan dapat menyuarakan bagaimana reformasi seharusnya dapat dimaknai sebagai kekuatan Islam yang mendorong perubahan konstruktif bagi kehidupan nasional yang terintegratif dan konstruktif. Muhammadiyah dapat meneguhkan kembali sekaligus menunjukkan komitmen moralnya sebagai gerakan amar makruf nahi munkar yang antara lain dengan memperkuat demokrasi sipil di Indonesia, penegakan pemerintahan yang bersih dan baik (cleant dan good government) dan membangun etika politik yang luhur. Ini berarti di awal milenium ketiga ini, Muhammadiyah diharapkan tidak saja mampu mengurusi persoalan-persoalan internalnya, seperti pergantian kepengurusan. Akan tetapi ia juga dapat merumuskan dasar-dasar teologi dan politiknya untuk disumbangkan kepada bangsa mengenai bagaimana seharusnya reformasi yang masih diselimuti kegelapan, seperti masih membudayanya korupsi dan nepotisme, dapat berjalan ke titik terang yang mencerahkan. Kita tunggu bagaimana Muhammadiyah, tantu saja bersama NU dapat menyusun agenda-agenda penting yang dapat mencerahkan peradaban bangsa dan negara Indoensia di masa mendatang. wallahu’lamu bimuradihi.
Oleh : Masroer Ch. Jb.
Mahasiswa Doktor Sosiologi Agama UKSW Salatiga
Sebagai gerakan pembaharuan (tajdid) Islam yang paling bersemangat dan berpengaruh besar dalam fase sejarah moderen Indonesia di awal abad ke 20, Muhammadiyah yang kini memasuki usianya ke-96 lebih telah menyumbangkan jasa pengabdiannya yang luar biasa bagi masyarakat di Tanah Air. Jasa pengabdiannya yang luar biasa itu tidak hanya ditunjukkan dari geliat pemikiran keagamaannya yang berwatak reformis dalam angan-angannya membersihkan sekaligus membangun kembali ajaran dasar Islam agar sejalan dengan khittah dasarnya sebagaimana dituntut dalam kitab suci al-Qur’an dan al-Hadis, melainkan juga dalam mereformasi mutu kehidupan sosial sekaligus pendidikan masyarakat.
Kehadiran ratusan rumah sakit dan balai-balai kesehatan yang berfungsi untuk menolong kesengsaran fisik umat, dibarengi dengan tumbuhnya ribuan panti asuhan yang bertujuan untuk meringankan penderitaan sosial anak-anak yatim di daerah-daerah, serta ribuan lembaga pendidikan mulai dari tingkat usia dini sampai perguruan tinggi yang didirikannya secara moderen di kota-kota dan pelosok-pelosok desa di Tanah Air, menjadi bukti yang sangat meyakinkan bahwa darma bakti Muhammadiyah terhadap bangsa dan negara ini tidaklah kecil dan sedikit.
Dalam hal pembangunan rumah sakit dan balai kesehatan, misalnya Persyarikatan Muhammadiyah dengan kekuatan finansial dan sumber daya manusianya yang relatif melimpah telah berhasil menempatkan dirinya sebagai organisasi keagamaan di garda depan dalam menyehatkan kehidupan masyarakat. Bahkan kehadiran lembaga-lembaga kesehatan Muhammadiyah menjadi alternatif yang patut dibanggakan di tengah kompetisi ketat dengan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan oleh kalangan non-Muhammadiyah dan Pemerintah. Hanya saja sayangnya diantara lembaga-lembaga kesehatan itu dalam perkembangannya tampak mulai kehilangan misi dasarnya yang menolong dan bertindak demi dan atas nama kemanusiaan Islam.
Justru ditengarai masyarakat merasakan lembaga-lembaga kesehatan yang didirikan oleh Muhammadiyah itu semakin lama semakin tenggelam ke dalam formalisme kelembagaan yang birokratis, sehingga kehilangan misi dasarnya sebagai juru penolong umat, seperti dalam hal ketidak-cepatan memberikan pelayanan terhadap pasien kritis akibat terbentur kendala prosedural. Bahkan keberadaan lembaga-lembaga kesehatan itu kian hari kian terjebak ke dalam kapitalisasi dunia kesehatan. Akibatnya tidak sedikit diantara masyarakat Islam yang sebagian besar masih hidup di garis kemiskinan ini tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan yang dimiliki oleh Muhammadiyah.
Begitu pula dalam hal pelayanan lembaga pendidikan yang dikelolanya terlihat mulai berada di persimpangan jalan. Pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah kian lama biayanya kian tidak terjangkau oleh masyarakat bawah, lebih-lebih jika memasuki lembaga pendidikan tinggi yang dimilikinya, seperti di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ketegangan antara peningkatan mutu pendidikan yang menuntut biaya tinggi sebagai syarat mencapai profesionalisme dunia pendidikan yang unggul dengan visi teologis untuk mencerdaskan kehidupan umat menuju umat yang berkeadaban, terjebak pada ideologi kapitalisasi pendidikan. Tentu pola pengelolaan lembaga pendidikan seperti ini yang sudah tersebar di daerah-daerah dengan jumlah ribuan itu patut segera dibenahi, agar ia tidak terus menerus berada di persimpangan jalan dengan memperteguh kembali misi dasarnya semula.
Bahkan kalau perlu Muhammadiyah dapat menengok ke dunia lain bagaimana konsistensi misi, semangat ikhlas dan pengabdian tulus yang menjiwai sebagian besar para kiai dalam mengelola lembaga pendidikan pesantren di desa-desa, dapat dijadikan inspirasi bagi pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan moderen yang didirikannya. Sudah barang tentu hal ini tidak mudah untuk dilakukan mengingat ideologi kemoderenan yang ditanamkan Muhammadiyah di satu sisi seringkali berefek menjebak para elitnya berada dalam pusaran nila-nilai rasional-materialisme yang bersifat individual dan kapitalistik, sehingga mencabut nilai-nilai transendensi kearifan lokal (local wisdom) yang dimilikinya.
Sekalipun demikian banyak pihak yang mengakui hanya Muhamadiyah sebagai organisasi Islam non-Pemerintah (ornop) yang dapat dirasakan langsung manfaat kehadirannya dalam memodernisir kehidupan bangsa di Tanah Air, utamanya di bidang agama, pendidikan dan dunia sosial. Ini artinya kemoderenan yang dicanangkan oleh gerakan Muhamadiyah selama ini tidak sekadar klaim-klaim retorik yang dikampanyekan para pemimpinnya, melainkan “cita rasa” kemoderenannya itu sesungguhnya telah dirasakan langsung oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia.
Namun bagaimanapun semangat memperbaharui kehidupan umat dengan cita-cita kemoderenan sebagaimana yang diangankan oleh KH. Ahmad Dahlan di masa-masa awal lahirnya Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912 terbukti telah mengilhami di hampir semua generasi kepemimpinan Muhamadiyah di sepanjang sejarahnya. Dalam dokumen sejarah tercatat, ketika KH. Mas Mansur bersama KH. Wahab Khasbullah mendirikan forum Taswirul Afkar pada tahun 1914 sebagai “ajang perdebatan intelektual” yang disediakan bagi para pemuda Islam dalam mengembangkan pemikiran nasionalisme keagamaannya melalui diskusi-diskusi rutin yang digelar di Surabaya, membuktikan semangat pembaharuan KH. Ahmad Dahlan telah diwarisi oleh KH. Mas Mansur.
Begitu juga dengan peran-peran arif KH. AR. Fakhruddin yang berusaha menjembatani keserasian hubungan Islam dengan Pemerintah di saat umat Islam terpinggirkan dalam panggung politik nasional di zaman Orde Baru, menunjukkan pemimpin utama Muhammadiyah itu berhasil membangun dialog dalam kerangka mendamaikan Islam dan negara di tengah ketegangan yang ditimbulkannya. Dan juga langkah-langkah pembaharuan hukum Islam yang digagas oleh KH. Ahmad Azhar Basyir selaku Ketua Umum Muhammadiyah waktu itu dalam mengkontekstualisasikan ajaran Islam dengan pembudidayaan doktrin ijtihadnya ke publik yang lebih luas.
Demikian pula tidak kalah hebatnya dengan peran-peran politik yang berani dan bersemangat yang diperlihatkan oleh Prof. Dr. H. Amien Rais di tengah hegemoni politik rezim Orde Baru dalam mendorong lahirnya reformasi di Indonesia beberapa tahun lalu. Bahkan semangat pembaharuan itu juga mengilhami langkah-langkah Prof. Dr. Syafii Maarif selaku ketua Umum Muhammadiyah dalam membangun dialog Islam dengan kelima agama resmi di Indonesia. Prof. Dr. Syafii Maarif tidak hanya mampu membangun hubungan dialogis dan saling pengertian dengan tokoh-tokoh Islam lain, seperti KH. Hasyim Muzadi, tetapi juga berusaha membangun dasar-dasar teologi inklusifnya dengan kelompok-kelompok Katolik, Hindu, Buddha, dan Protestan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam pertemuannya yang digelar bersama para pemimpin agama di Tanah Air ketika menggalang gerakan anti korupsi.
Kini, Muhammadiyah tentu akan kian memantapkan dirinya dalam berdarma bakti kepada bangsa dan negara. Ini berarti berbagai persoalan pokok yang menyangkut kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara sudah pasti akan menjadi agenda pokok dan pergulatan intelektual para elit Muhammadiyah pasaca Pemilu 2009 ini. Lebih-lebih di masa refomasi saat ini yang prosesnya masih berada dalam fase transisisi ke konsolidasi demokrasi, Muhammadiyah dituntut oleh banyak pihak untuk memainkan kembali peran pembaharuannya dengan tetap konsisten menjaga semangat reformasi. Ini artinya reformasi yang masih berada di persimpangan jalan –tarik menarik antara transisi ke konsolidasi--, akan mendorong Muhammadiyah untuk menentukan langkah bagi upaya mewujudkan keberhasilan reformasi di Indonesia sehingga ia tidak terjatuh ke dalam lingkaran krisis yang tiada berujung. Terlebih lagi mengingat peran yang dimainkan oleh para pemimpin Muhammadiyah begitu besar dalam mendorong lahirnya era reformasi yang ditandai dari keberhasilan melengserkan Presiden Soeharto pada waktu itu. Dapat dikatakan secara jujur para pemimpin Muhammadiyah-lah yang sebenarnya menjadi pelopor dalam mengobarkan semangat reformasi di kalangan mahasiswa dan masyarakat saat itu.
Oleh karena itu, Muhammadiyah diharapkan dapat menyuarakan bagaimana reformasi seharusnya dapat dimaknai sebagai kekuatan Islam yang mendorong perubahan konstruktif bagi kehidupan nasional yang terintegratif dan konstruktif. Muhammadiyah dapat meneguhkan kembali sekaligus menunjukkan komitmen moralnya sebagai gerakan amar makruf nahi munkar yang antara lain dengan memperkuat demokrasi sipil di Indonesia, penegakan pemerintahan yang bersih dan baik (cleant dan good government) dan membangun etika politik yang luhur. Ini berarti di awal milenium ketiga ini, Muhammadiyah diharapkan tidak saja mampu mengurusi persoalan-persoalan internalnya, seperti pergantian kepengurusan. Akan tetapi ia juga dapat merumuskan dasar-dasar teologi dan politiknya untuk disumbangkan kepada bangsa mengenai bagaimana seharusnya reformasi yang masih diselimuti kegelapan, seperti masih membudayanya korupsi dan nepotisme, dapat berjalan ke titik terang yang mencerahkan. Kita tunggu bagaimana Muhammadiyah, tantu saja bersama NU dapat menyusun agenda-agenda penting yang dapat mencerahkan peradaban bangsa dan negara Indoensia di masa mendatang. wallahu’lamu bimuradihi.
DIALOG KAUM MUDA NU
MDGs DAN BAHAYA KEMISKINAN BAGI INDONESIA*
Oleh: M. AGUS BUDIANTO
MAHASISWA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
email agusbudianto17@yahoo.com
Indonesia menjadi tuan rumah Regional Ministerial Meeting on Millenium Development Goals (MDGs) in Asian Pasivic, yang di selenggarakan di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Pertemuan itu diadakan guna mambahas kesiapan Negara-Negara Asia Pasifik dalam menghadapi Millennium Summit yang akan di selenggarakan pada bulan September 2005. Pertemuan tingkat Menteri perwakilan 41 negara di kawasan Asia Pasifik itu bertujuan membahas dan merumuskan program-program yang di canangkan PBB bagi Negara-Negara anggotanya dalam menghadapi abad millennium pada tahun 2015.
MDGs yang di deklarasikan pada tahun 2000 itu memuat delapan target yang harus dicapai oleh Negara-Negara miskin dan berkembang terutama Negara-Negara kawasan Asia Pasifik dan Afrika. Diantara delapan target yang harus dicapai itu diantaranya, mengenai penanggulangan kemiskinan dan kelaparan. Yaitu pada poin pertama dari delapan target pencapaian tersebut.
kenyataan bahwa kemiskinan adalah merupakan salah satu ancaman yang merugikan bagi Negara. Baik bagi Negara miskin dan berkembang maupun juga ancaman bagi dunia global. Saat ini, di dunia terdapat 700 juta lebih orang menderita kemiskinan, serta terancam mati oleh karena mereka hidup dengan biaya kurang dari 1 dolar AS perhari. Belum lagi ratusan juta orang lainnya terancam keberadaannya akibat tereserang komplikasi kemiskinan. Kemiskinan dengan segala bentuk ekspresinya, seperti kelaparan, penyakit mematikan, dan degradasi lingkungan, akibat dari pemenasan global dan modernisasi.
Pertumbuhan penduduk
Bisa kita lihat bahwa, meningkatnya angka kemiskinan tidak pernah lepas dari tingkat pertumbuhan populasi manusia. Hampir setiap tahun jumlah pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami peningkatan yang menghawatirkan. Menghawatirkan karena peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk tersebut juga memperparah angka pengangguran yang sampai saat ini masih merupan fenomena yang menggejala di tanah air. Kalau memang benar demikian lalu apa sebenarnya yang terjadi?
Merujuk pada data Statistic survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), biro pusat statistic menggambarkan sekaligus memprediksikan terjadinya tren peningkatan pengangguran terbuka dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. yang berakibat pada pertambahan penduduk miskin. Ironis memang, mari kita kaji bersama….
Saat deklarasi MDGs di tandatangani pada tahun 2000, penduduk Indonesia saat itu berjumlah 205,7 juta jiwa, dari jumlah tersebut tercatat ada penambahan sekitar 68 juta dalam kurun waktu 25 tahun. Maka, dapat disimpulkan secara rata-rata ada penamabahan jumlah penduduk sebesar 2,72 persen, itu untuk Indonesia saja..
Tingkat pertumbuhan penduduk itu tergolong tinggi meski presentase jumlah penduduk tebesar itu lebih dipengaruhi pada besarnya kelompok usia 15 tahun hingga 65 tahun yang mencapai angka sebesaar 68,7 persen. Sementara yang berada pada kelompok 0 tahun hingga 14 tahun, yang juga merupakan indicator tingkat presentase kelahirannya menurun dari 30,7 persen menjadi 22,8 persen. Meski samar jumlah relativenya sama, yakni sekitar 62,4 juta jiwa.
Tegasnya untuk mengantisipasi semakin menggejalanya angka pertumbuhan penduduk yang berdampak pada pengangguran dan kemiskinan. Solusi terbaik adalah, diharapkan pemerintah serta kesadaran masyarakat untuk berperan serta dalam menggalakkan dan mengkampanyekan layanan pemerintah yaitu, keluarga sejahtera, Keluarga Berencana (KB) terutama bagi keluarga miskin.
Bencana Kemiskinan
Hemat penulis, pada era Pemerintahan Orde Baru (baca: Soeharto), dalam usaha-usaha penanggulangan kemiskinan, cukup bisa dikatakan berhasil, -untuk tidak mengatakan sepenuhnya- keberhasilan tersebut bisa dilihat dalam perjalanannya, pada tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin untuk Indonesia, terus mengalami penurunan secara darastis. Pada tahun 1976, tercatat jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta jiwa atau 40,1 persen dari jumlah penduduk. Tahun 1996 turun drastis menjadi 22,5 juta atau hanya sekitar 11,3 persen.
Namun, pada saat krisis ekonomi yang melanda pada pertenganhan tahun 1997 seakan menistakan usaha dan program yang dijalankan pemerintah. Dampaknya, tidak tanggung-tanggung, jumlah penduduk miskin meningkat hingga 49,5 juta atau 24,2 persen dari total jumlah penduduk saat itu. Secara rata-rata angka peninkatan itu sebanyak dua kali lipat pada masa kejayaannya. Tingginya angka tersebut jug diperparah oleh banyaknya perusahaan/sentra ekonomi yang mengeluarkan maklumat Putus Hubungan Kerja (PHK), dan banyak diantara mereka menghentikan kegiatan ekonominya alias gulung tikar.
Baru ketika kondisi politik dan perekonomian Indonesia mulai stabil pada pertengahan tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang hingga mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. Tahun 2001, tercatat jumlah penduduk miskin turun meski tidak signifikan, mencapai 37,1 juta dari total penduduk. Sementara tahun 2004 penduduk miskn terus mengalami penurunan hingga menjadi 36,1 juta atau sekitar 16,6 persen. (Kompas,6/8)
Lalu….apakah realitas itu mampu bertahan lama? Tidak, jawabannya. bencana alam kembali datang seakan tak kenal henti. Mulai dari dari gempa bumi di alor, NTT, Papua, hingga bencana tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), serta baru-baru ini penyakit busung lapar, malaria dan berbagai penyakit mematikan lainnya yang memakan ratusan ribuan korban jiwa, justru mengakibatkan angka penduduk miskin terus bertambah hingga 54 juta jiwa.
Hemat penulis, langkah solutif dalam penangannya adalah, dibutuhkan keseriusan dan respons yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat guna mengantisipasi semakin tingginya angka pertumbuhan penduduk, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Dengan cara pembangunan di segala bidang, terutama di bidang perekonomian, baik perekonomian yang bersecala local maupun nasional, guna menyerap banyak tenaga kerja dari masyarakat. Bila tidak, Indonesia akan gagal dalam mencapai delapan target MDGs abad millennium pada tahun 2015, atau Indonesia akan masuk pada kategori The Least Developing Countries (LDCs/Negara terbelakang). Semoga tidak terjadi. Wallahu
wa’lam.
ARTIKEL INI PERNAH DIMUAT DI HARIAN BERNAS YOGYAKARTA SENIN PAHING 8 AGUSTUS 2005
Oleh: M. AGUS BUDIANTO
MAHASISWA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
email agusbudianto17@yahoo.com
Indonesia menjadi tuan rumah Regional Ministerial Meeting on Millenium Development Goals (MDGs) in Asian Pasivic, yang di selenggarakan di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Pertemuan itu diadakan guna mambahas kesiapan Negara-Negara Asia Pasifik dalam menghadapi Millennium Summit yang akan di selenggarakan pada bulan September 2005. Pertemuan tingkat Menteri perwakilan 41 negara di kawasan Asia Pasifik itu bertujuan membahas dan merumuskan program-program yang di canangkan PBB bagi Negara-Negara anggotanya dalam menghadapi abad millennium pada tahun 2015.
MDGs yang di deklarasikan pada tahun 2000 itu memuat delapan target yang harus dicapai oleh Negara-Negara miskin dan berkembang terutama Negara-Negara kawasan Asia Pasifik dan Afrika. Diantara delapan target yang harus dicapai itu diantaranya, mengenai penanggulangan kemiskinan dan kelaparan. Yaitu pada poin pertama dari delapan target pencapaian tersebut.
kenyataan bahwa kemiskinan adalah merupakan salah satu ancaman yang merugikan bagi Negara. Baik bagi Negara miskin dan berkembang maupun juga ancaman bagi dunia global. Saat ini, di dunia terdapat 700 juta lebih orang menderita kemiskinan, serta terancam mati oleh karena mereka hidup dengan biaya kurang dari 1 dolar AS perhari. Belum lagi ratusan juta orang lainnya terancam keberadaannya akibat tereserang komplikasi kemiskinan. Kemiskinan dengan segala bentuk ekspresinya, seperti kelaparan, penyakit mematikan, dan degradasi lingkungan, akibat dari pemenasan global dan modernisasi.
Pertumbuhan penduduk
Bisa kita lihat bahwa, meningkatnya angka kemiskinan tidak pernah lepas dari tingkat pertumbuhan populasi manusia. Hampir setiap tahun jumlah pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami peningkatan yang menghawatirkan. Menghawatirkan karena peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk tersebut juga memperparah angka pengangguran yang sampai saat ini masih merupan fenomena yang menggejala di tanah air. Kalau memang benar demikian lalu apa sebenarnya yang terjadi?
Merujuk pada data Statistic survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), biro pusat statistic menggambarkan sekaligus memprediksikan terjadinya tren peningkatan pengangguran terbuka dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. yang berakibat pada pertambahan penduduk miskin. Ironis memang, mari kita kaji bersama….
Saat deklarasi MDGs di tandatangani pada tahun 2000, penduduk Indonesia saat itu berjumlah 205,7 juta jiwa, dari jumlah tersebut tercatat ada penambahan sekitar 68 juta dalam kurun waktu 25 tahun. Maka, dapat disimpulkan secara rata-rata ada penamabahan jumlah penduduk sebesar 2,72 persen, itu untuk Indonesia saja..
Tingkat pertumbuhan penduduk itu tergolong tinggi meski presentase jumlah penduduk tebesar itu lebih dipengaruhi pada besarnya kelompok usia 15 tahun hingga 65 tahun yang mencapai angka sebesaar 68,7 persen. Sementara yang berada pada kelompok 0 tahun hingga 14 tahun, yang juga merupakan indicator tingkat presentase kelahirannya menurun dari 30,7 persen menjadi 22,8 persen. Meski samar jumlah relativenya sama, yakni sekitar 62,4 juta jiwa.
Tegasnya untuk mengantisipasi semakin menggejalanya angka pertumbuhan penduduk yang berdampak pada pengangguran dan kemiskinan. Solusi terbaik adalah, diharapkan pemerintah serta kesadaran masyarakat untuk berperan serta dalam menggalakkan dan mengkampanyekan layanan pemerintah yaitu, keluarga sejahtera, Keluarga Berencana (KB) terutama bagi keluarga miskin.
Bencana Kemiskinan
Hemat penulis, pada era Pemerintahan Orde Baru (baca: Soeharto), dalam usaha-usaha penanggulangan kemiskinan, cukup bisa dikatakan berhasil, -untuk tidak mengatakan sepenuhnya- keberhasilan tersebut bisa dilihat dalam perjalanannya, pada tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin untuk Indonesia, terus mengalami penurunan secara darastis. Pada tahun 1976, tercatat jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta jiwa atau 40,1 persen dari jumlah penduduk. Tahun 1996 turun drastis menjadi 22,5 juta atau hanya sekitar 11,3 persen.
Namun, pada saat krisis ekonomi yang melanda pada pertenganhan tahun 1997 seakan menistakan usaha dan program yang dijalankan pemerintah. Dampaknya, tidak tanggung-tanggung, jumlah penduduk miskin meningkat hingga 49,5 juta atau 24,2 persen dari total jumlah penduduk saat itu. Secara rata-rata angka peninkatan itu sebanyak dua kali lipat pada masa kejayaannya. Tingginya angka tersebut jug diperparah oleh banyaknya perusahaan/sentra ekonomi yang mengeluarkan maklumat Putus Hubungan Kerja (PHK), dan banyak diantara mereka menghentikan kegiatan ekonominya alias gulung tikar.
Baru ketika kondisi politik dan perekonomian Indonesia mulai stabil pada pertengahan tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang hingga mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. Tahun 2001, tercatat jumlah penduduk miskin turun meski tidak signifikan, mencapai 37,1 juta dari total penduduk. Sementara tahun 2004 penduduk miskn terus mengalami penurunan hingga menjadi 36,1 juta atau sekitar 16,6 persen. (Kompas,6/8)
Lalu….apakah realitas itu mampu bertahan lama? Tidak, jawabannya. bencana alam kembali datang seakan tak kenal henti. Mulai dari dari gempa bumi di alor, NTT, Papua, hingga bencana tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), serta baru-baru ini penyakit busung lapar, malaria dan berbagai penyakit mematikan lainnya yang memakan ratusan ribuan korban jiwa, justru mengakibatkan angka penduduk miskin terus bertambah hingga 54 juta jiwa.
Hemat penulis, langkah solutif dalam penangannya adalah, dibutuhkan keseriusan dan respons yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat guna mengantisipasi semakin tingginya angka pertumbuhan penduduk, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Dengan cara pembangunan di segala bidang, terutama di bidang perekonomian, baik perekonomian yang bersecala local maupun nasional, guna menyerap banyak tenaga kerja dari masyarakat. Bila tidak, Indonesia akan gagal dalam mencapai delapan target MDGs abad millennium pada tahun 2015, atau Indonesia akan masuk pada kategori The Least Developing Countries (LDCs/Negara terbelakang). Semoga tidak terjadi. Wallahu
wa’lam.
ARTIKEL INI PERNAH DIMUAT DI HARIAN BERNAS YOGYAKARTA SENIN PAHING 8 AGUSTUS 2005
Jumat, 28 November 2008
Langganan:
Postingan (Atom)