Rabu, 25 Februari 2009

DIALOG LINTAS ORMAS & INTELEKTUAL

CITA-CITA MUHAMMADIYAH & REFORMASI NASIONAL

Oleh : Masroer Ch. Jb.
Mahasiswa Doktor Sosiologi Agama UKSW Salatiga

Sebagai gerakan pembaharuan (tajdid) Islam yang paling bersemangat dan berpengaruh besar dalam fase sejarah moderen Indonesia di awal abad ke 20, Muhammadiyah yang kini memasuki usianya ke-96 lebih telah menyumbangkan jasa pengabdiannya yang luar biasa bagi masyarakat di Tanah Air. Jasa pengabdiannya yang luar biasa itu tidak hanya ditunjukkan dari geliat pemikiran keagamaannya yang berwatak reformis dalam angan-angannya membersihkan sekaligus membangun kembali ajaran dasar Islam agar sejalan dengan khittah dasarnya sebagaimana dituntut dalam kitab suci al-Qur’an dan al-Hadis, melainkan juga dalam mereformasi mutu kehidupan sosial sekaligus pendidikan masyarakat.

Kehadiran ratusan rumah sakit dan balai-balai kesehatan yang berfungsi untuk menolong kesengsaran fisik umat, dibarengi dengan tumbuhnya ribuan panti asuhan yang bertujuan untuk meringankan penderitaan sosial anak-anak yatim di daerah-daerah, serta ribuan lembaga pendidikan mulai dari tingkat usia dini sampai perguruan tinggi yang didirikannya secara moderen di kota-kota dan pelosok-pelosok desa di Tanah Air, menjadi bukti yang sangat meyakinkan bahwa darma bakti Muhammadiyah terhadap bangsa dan negara ini tidaklah kecil dan sedikit.
Dalam hal pembangunan rumah sakit dan balai kesehatan, misalnya Persyarikatan Muhammadiyah dengan kekuatan finansial dan sumber daya manusianya yang relatif melimpah telah berhasil menempatkan dirinya sebagai organisasi keagamaan di garda depan dalam menyehatkan kehidupan masyarakat. Bahkan kehadiran lembaga-lembaga kesehatan Muhammadiyah menjadi alternatif yang patut dibanggakan di tengah kompetisi ketat dengan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan oleh kalangan non-Muhammadiyah dan Pemerintah. Hanya saja sayangnya diantara lembaga-lembaga kesehatan itu dalam perkembangannya tampak mulai kehilangan misi dasarnya yang menolong dan bertindak demi dan atas nama kemanusiaan Islam.

Justru ditengarai masyarakat merasakan lembaga-lembaga kesehatan yang didirikan oleh Muhammadiyah itu semakin lama semakin tenggelam ke dalam formalisme kelembagaan yang birokratis, sehingga kehilangan misi dasarnya sebagai juru penolong umat, seperti dalam hal ketidak-cepatan memberikan pelayanan terhadap pasien kritis akibat terbentur kendala prosedural. Bahkan keberadaan lembaga-lembaga kesehatan itu kian hari kian terjebak ke dalam kapitalisasi dunia kesehatan. Akibatnya tidak sedikit diantara masyarakat Islam yang sebagian besar masih hidup di garis kemiskinan ini tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan yang dimiliki oleh Muhammadiyah.

Begitu pula dalam hal pelayanan lembaga pendidikan yang dikelolanya terlihat mulai berada di persimpangan jalan. Pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah kian lama biayanya kian tidak terjangkau oleh masyarakat bawah, lebih-lebih jika memasuki lembaga pendidikan tinggi yang dimilikinya, seperti di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ketegangan antara peningkatan mutu pendidikan yang menuntut biaya tinggi sebagai syarat mencapai profesionalisme dunia pendidikan yang unggul dengan visi teologis untuk mencerdaskan kehidupan umat menuju umat yang berkeadaban, terjebak pada ideologi kapitalisasi pendidikan. Tentu pola pengelolaan lembaga pendidikan seperti ini yang sudah tersebar di daerah-daerah dengan jumlah ribuan itu patut segera dibenahi, agar ia tidak terus menerus berada di persimpangan jalan dengan memperteguh kembali misi dasarnya semula.

Bahkan kalau perlu Muhammadiyah dapat menengok ke dunia lain bagaimana konsistensi misi, semangat ikhlas dan pengabdian tulus yang menjiwai sebagian besar para kiai dalam mengelola lembaga pendidikan pesantren di desa-desa, dapat dijadikan inspirasi bagi pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan moderen yang didirikannya. Sudah barang tentu hal ini tidak mudah untuk dilakukan mengingat ideologi kemoderenan yang ditanamkan Muhammadiyah di satu sisi seringkali berefek menjebak para elitnya berada dalam pusaran nila-nilai rasional-materialisme yang bersifat individual dan kapitalistik, sehingga mencabut nilai-nilai transendensi kearifan lokal (local wisdom) yang dimilikinya.

Sekalipun demikian banyak pihak yang mengakui hanya Muhamadiyah sebagai organisasi Islam non-Pemerintah (ornop) yang dapat dirasakan langsung manfaat kehadirannya dalam memodernisir kehidupan bangsa di Tanah Air, utamanya di bidang agama, pendidikan dan dunia sosial. Ini artinya kemoderenan yang dicanangkan oleh gerakan Muhamadiyah selama ini tidak sekadar klaim-klaim retorik yang dikampanyekan para pemimpinnya, melainkan “cita rasa” kemoderenannya itu sesungguhnya telah dirasakan langsung oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia.

Namun bagaimanapun semangat memperbaharui kehidupan umat dengan cita-cita kemoderenan sebagaimana yang diangankan oleh KH. Ahmad Dahlan di masa-masa awal lahirnya Muhammadiyah pada 18 Nopember 1912 terbukti telah mengilhami di hampir semua generasi kepemimpinan Muhamadiyah di sepanjang sejarahnya. Dalam dokumen sejarah tercatat, ketika KH. Mas Mansur bersama KH. Wahab Khasbullah mendirikan forum Taswirul Afkar pada tahun 1914 sebagai “ajang perdebatan intelektual” yang disediakan bagi para pemuda Islam dalam mengembangkan pemikiran nasionalisme keagamaannya melalui diskusi-diskusi rutin yang digelar di Surabaya, membuktikan semangat pembaharuan KH. Ahmad Dahlan telah diwarisi oleh KH. Mas Mansur.

Begitu juga dengan peran-peran arif KH. AR. Fakhruddin yang berusaha menjembatani keserasian hubungan Islam dengan Pemerintah di saat umat Islam terpinggirkan dalam panggung politik nasional di zaman Orde Baru, menunjukkan pemimpin utama Muhammadiyah itu berhasil membangun dialog dalam kerangka mendamaikan Islam dan negara di tengah ketegangan yang ditimbulkannya. Dan juga langkah-langkah pembaharuan hukum Islam yang digagas oleh KH. Ahmad Azhar Basyir selaku Ketua Umum Muhammadiyah waktu itu dalam mengkontekstualisasikan ajaran Islam dengan pembudidayaan doktrin ijtihadnya ke publik yang lebih luas.

Demikian pula tidak kalah hebatnya dengan peran-peran politik yang berani dan bersemangat yang diperlihatkan oleh Prof. Dr. H. Amien Rais di tengah hegemoni politik rezim Orde Baru dalam mendorong lahirnya reformasi di Indonesia beberapa tahun lalu. Bahkan semangat pembaharuan itu juga mengilhami langkah-langkah Prof. Dr. Syafii Maarif selaku ketua Umum Muhammadiyah dalam membangun dialog Islam dengan kelima agama resmi di Indonesia. Prof. Dr. Syafii Maarif tidak hanya mampu membangun hubungan dialogis dan saling pengertian dengan tokoh-tokoh Islam lain, seperti KH. Hasyim Muzadi, tetapi juga berusaha membangun dasar-dasar teologi inklusifnya dengan kelompok-kelompok Katolik, Hindu, Buddha, dan Protestan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam pertemuannya yang digelar bersama para pemimpin agama di Tanah Air ketika menggalang gerakan anti korupsi.

Kini, Muhammadiyah tentu akan kian memantapkan dirinya dalam berdarma bakti kepada bangsa dan negara. Ini berarti berbagai persoalan pokok yang menyangkut kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara sudah pasti akan menjadi agenda pokok dan pergulatan intelektual para elit Muhammadiyah pasaca Pemilu 2009 ini. Lebih-lebih di masa refomasi saat ini yang prosesnya masih berada dalam fase transisisi ke konsolidasi demokrasi, Muhammadiyah dituntut oleh banyak pihak untuk memainkan kembali peran pembaharuannya dengan tetap konsisten menjaga semangat reformasi. Ini artinya reformasi yang masih berada di persimpangan jalan –tarik menarik antara transisi ke konsolidasi--, akan mendorong Muhammadiyah untuk menentukan langkah bagi upaya mewujudkan keberhasilan reformasi di Indonesia sehingga ia tidak terjatuh ke dalam lingkaran krisis yang tiada berujung. Terlebih lagi mengingat peran yang dimainkan oleh para pemimpin Muhammadiyah begitu besar dalam mendorong lahirnya era reformasi yang ditandai dari keberhasilan melengserkan Presiden Soeharto pada waktu itu. Dapat dikatakan secara jujur para pemimpin Muhammadiyah-lah yang sebenarnya menjadi pelopor dalam mengobarkan semangat reformasi di kalangan mahasiswa dan masyarakat saat itu.

Oleh karena itu, Muhammadiyah diharapkan dapat menyuarakan bagaimana reformasi seharusnya dapat dimaknai sebagai kekuatan Islam yang mendorong perubahan konstruktif bagi kehidupan nasional yang terintegratif dan konstruktif. Muhammadiyah dapat meneguhkan kembali sekaligus menunjukkan komitmen moralnya sebagai gerakan amar makruf nahi munkar yang antara lain dengan memperkuat demokrasi sipil di Indonesia, penegakan pemerintahan yang bersih dan baik (cleant dan good government) dan membangun etika politik yang luhur. Ini berarti di awal milenium ketiga ini, Muhammadiyah diharapkan tidak saja mampu mengurusi persoalan-persoalan internalnya, seperti pergantian kepengurusan. Akan tetapi ia juga dapat merumuskan dasar-dasar teologi dan politiknya untuk disumbangkan kepada bangsa mengenai bagaimana seharusnya reformasi yang masih diselimuti kegelapan, seperti masih membudayanya korupsi dan nepotisme, dapat berjalan ke titik terang yang mencerahkan. Kita tunggu bagaimana Muhammadiyah, tantu saja bersama NU dapat menyusun agenda-agenda penting yang dapat mencerahkan peradaban bangsa dan negara Indoensia di masa mendatang. wallahu’lamu bimuradihi.

1 komentar:

PWNU-JOGJA mengatakan...

NU yang cantik ya seperti ini. terbuka dan ikut mendiskusikan ormas non NU. spirit seperti ini harus tetap dijaga. hidup NU..!!


M. Agus Budianto
patalaku.blogspot.com